Ulama dan Korupsi

Sumber dari Blog :…http://berbual.com/korupsi-dan-ulama-yang-frustrasi/

Korupsi dan Ulama yang Frustrasi

Hasil kajian fiqh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama sampai pada kesimpulan bahwa koruptor layak disebut kafir. Meski ini bukan fatwa resmi, ini adalah pernyataan serius. Dalam Islam, seperti umum diketahui, perkara mengkafirkan orang itu bukan perkara sederhana. Tentu kita semua paham mengapa dua organisasi besar itu sampai pada pemikiran yang demikian. Korupsi yang merajalela di negeri ini memang sudah dapat dianggap sebagai kejadian luar biasa.
Tapi kalau boleh saya bertanya, ke mana mereka selama ini? Para ulama itu. Kenapa baru sekarang ini mereka terlihat resah? Tuluskah keresahan itu?
Saya selama puluhan tahun melihat ulama telah menyerahkan diri mereka untuk bersimpuh di bawah sub-ordinasi kekuasaan. Dan kekuasaan yang mereka simpuhi itu adalah kekuasaan yang korup! Pernahkah kita melihat adanya ulama yang secara tegas mengambil jarak dari pemerintah setelah Buya Hamka wafat? Mungkin hanya Abu Bakar Baasyir yang layak masuk kategori ini.
Saya selalu terkenang pada kiyai-kiyai yang dalam istilah Pak Koentowidjojo disebut kiyai pompa air. Kiyai-kiyai yang rela menggiring suara umatnya untuk suatu partai tertentu hanya karena pondok pesantrennya sudah diberi hadiah fasilitas sekelas pompa air. Mereka inilah salah satu pilar penyokong kekuasaan Orde Baru.
Ulama-ulama kita adalah mereka yang tak percaya diri. Yang tak merasa mantap kalau keulamaan mereka tak diakui oleh umara. Yang merasa bangga kalau bisa duduk berjajar dengan pejabat di berbagai seremoni. Juga yang merasa ditokohkan bila ada pejabat yang memerlukan untuk sowan kepadanya.
Tak heran bila mereka kemudian lalai mengawal umat. Umat melihat kekuasaan ini baik-baik saja. Dengan segala kebusukannya kekuasaan ini masih mendapat dukungan ulama. Artinya, kelakuan korup para petinggi negeri telah mendapatkan pembenaran. Jadi, jangan heran kalau umat melibatkan diri dalam peri laku korup itu.
Tak hanya itu. Tak sedikit ulama yang menceburkan diri menjadi bagian dari sistem yang korup itu. Saya pernah menyaksikan sendiri seorang ustaz yang berunding dengan seorang kepala dinas untuk mengatur tender proyek. Proyek akan diberikan kepada seseorang, dengan imbalan, dia harus membuatkan sesuatu untuk mesjid atau pondok pesantren. Prinsipnya: pengaturan tender, penyelewengan dana proyek itu sah, selama ada bagian yang disumbangkan untuk Islam.
Kini, ulama memberi cap kafir pada koruptor. Bagi saya ini adalah sebuah perbuatan cuci tangan. Seolah para ulama itu tidak terlibat dalam sistem yang korup ini. Seolah mereka tidak ikut membesarkan sistem yang korup ini.
Di sisi lain sebutan kafir itu adalah cara ulama untuk mengungkapkan rasa putus asa atas ketidakberdayaan mereka. Boleh jadi ini usaha untuk merebut kembali tempat mereka di tengah umat. Usaha untuk jadi pahlawan, yang sayangnya sudah kesiangan.

http://berbual.com

Leave a comment