Pemikiran

PEMIKIRAN
HAJI DAN KEMISKINAN

oleh : Ayief Fathurrahman

Sedikit aneh memang kedengarannya, tapi memang beginilah faktanya yang terjadi di Negara Indonesia, di negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia ini, kita sering mendengar banyak pejabat yang minta fasilitas negara agar bisa naik haji, para koruptor juga berlomba untuk bisa berulang kali haji dan umroh, para petani harus menjual sawah dan ladang dan rela menjadi miskin setelahnya asal bisa pergi haji.

Haji memang salah satu dari rukun Islam selain syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji berarti mendirikan rukun Islam yang kelima. Umat muslim dengan senang hati memenuhi panggilan Allah SWT tersebut dengan dalih menyempurnakan rukun Islam. Fenomena ini seolah-olah memberikan kesan bahwa masyarakat muslim khususnya di Indonesia, merupakan masyarakat yang taat beragama, sekaligus individu-individu yang saleh. Keadaan ini idealnya membidani kelahiran realitas dan tatanan sosial yang shaleh pula. Firman Allah ta’ala:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97).

Berdasarkan dalil di atas, diketahui bahwa Salah satu syarat dari diperbolehkannnya seseorang menunaikan haji adalah bahwa perjalanan (sabila) dalam keadaan aman dan tidak dalam kondisi perang. Kalau kita kaitkan dengan realitas zaman sekarang, bukankah pintu haji terbuka lebar bagi siapa saja khususnya bagi orang-orang kaya, bahkan bagi orang yang pas-pasan sampai jual tanah segala, karena memang pelayanan haji menjamin 90% keamanannya, bahkan dipantau langsung Mentri Agama di lapangan, walaupun masih ada kekurangannya 10%, seperti ketelantaran para haji Indonesia. Tapi pernahkah kita merenung sejenak, bukankah bangsa kita saat ini sedang mengalami peperangan yang cukup dahsyat dengan berbagai fenomena kemiskinan yang semakin parah di negeri kita tercinta ini.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan jumlah penduduk miskin pada 2009 mencapai 40 juta orang (16,82%).Jumlah ini meningkat sekitar 5 juta dibandingkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2008, yang mencatat penduduk miskin sebanyak 34,96 juta orang (15,42%). Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah lagi dengan daerah-daerah yang terkena bencana alam, Situ Gintung, Sumatera Barat, Jambi, Papua, Sidoarjo, kelud, bengkulu dan berbagai tempat lainnya. Bahkan, hingga kini masih banyak dari mereka yang belum bisa keluar dari kesulitan hidup. Pertanyaannaya kemudian pantaskah mereka pergi beribadah dengan meninggalkan saudaranya yang masih membutuhkan ?

Dahulu pada masa Nabi Muhammad saw. ada seorang miskin yang ingin menunaikan ibadah haji. Ia rupanya telah mengumpulkan semua biaya ibadah haji itu selama 20 tahun. Namun, ketika dalam perjalanan mulia menuju Makkah, ia menyaksikan banyak kaum muslimin yang sedang dilanda kemiskinan dimana-mana. Tak tega melihat saudara-saudaranya yang seiman sedang membutuhkan bantuan, ia pun kemudian mengurungkan niatnya untuk ziarah ke Makkah. Selanjutnya Ia bagi-bagikan semua hartanya kepada mereka. Persoalan itu kemudian sampai ketelinga Nabi dan Nabi pun haru mendengarnya. Selanjutnya Nabi bersabda ” Hajimu sah dan kamu berhak masuk syurga”

Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai cerita-cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna. Padahal, ibadah haji lebih banyak makna sosialnya daripada makna ritual (transendental). Hal ini didasarkan pada substansi Islam dalah agama rohmatan lil’alamiin. (QS. Al-Anbiya: 107). Itu semua dilakukan karena ibadah haji bisa dijadikan bungkus atas ketidakberesan moralitas sosial manusia. Sehingga makna haji yang sesungguhnya tidak kita temukan.

Bukankah Hari Raya Haji sama dengan Hari raya Kurban (Idul Adha), Kata Hari Raya Kurban seolah-olah mengingtakan kita semua khususnya bagi calon jama’ah haji bahwa bulan haji ini semua umat Islam bagi yang mampu melakukan penyembelihan hewan (kurban) serta ada mengalir darah hewan di mana-mana. Hal ini menandakan kesediaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji harus berusaha membunuh atau membuang sifat-sifat kebinatangan (nafsu hewaniah) yang hanya menitikberatkan pada masalah nafsu emosional, keserakahan tanpa mengenal aturan dan etika, berganti menjadi mentalitas manusia yang selalu menjunjung tinggi rasional, perasaan, menghargai dan menjunjung tinggi etika, norma dan aturan yang berlaku baik secara sosial maupun agama. Pertanyaannaya kemudian sudahkah calon jamaah haji menjunjung tinggi itu semua ?

Konteks sosial ini seharusnya bisa mendorong umat Muslim untuk berani menafsirkan ibadah haji secara subtansial. Dimana haji tidak harus difahami secara tekstual. Akan tetapi akan lebih baik jika dimaknai dengan kontekstual/realita yang terjadi di masyarakat saat ini. Artinya, masyarakat disekitar kita yang sedang mengalami kesulitan hidup mau tidak mau sangat membutuhkan uluran tangan kita. Terutama bagi orang-orang yang mampu untuk haji. Yang dalam hal ini kemudian dinamakan haji sosial. Merujuk pada kisah diatas maka tidak ada salahnya jika pemerintah menekan para jamaah haji terutama yang sudah berulang kali agar semua dana keberangkatan di hibahkan kepada fakir miskin. Haji sosial adalah haji yang amat mulia, dicintai fakir miskin dan diridhoi Allah. Inilah sebenarnya haji mabrur (Jabir Alfaruki, kompas).

Sekali lagi, andaikata pemahaman tentang perlunya haji sosial ini bisa diterapkan di kalangan umat Islam, penderitaan saudara-saudara Muslim akan bisa dikurangi. Pemerintah tidak perlu minta bantuan negara lain dengan menjual kemiskinan dan bencana alam. Berbagai kebutuhan sosial kemanusiaan itu bisa dipenuhi dari rakyat Indonesia sendiri melalui haji sosial.

Kalau memang demikian adanya, bukankah “berhaji” di Indonesia lebih baik di bandingkan dengan berhaji di Makkah, mengingat “berhaji” di Indonesia akan amat sangat dan lebih dicintai fakir miskin dan diridhoi oleh Allah SWT. Saling berbagi memang indah adanya, keindahan yang mendatang kemaslahatan bersama. Sejatinya, keindahan ibadah ini bukan hanya untuk “penyelematan” diri sendiri saja, tetapi juga mencoba memberikan jalan keluar dari segala macam kesulitan hidup yang melanda sebagian Muslimin Indonesia. Wallahu’alam…

Leave a comment