Perbedaan pendapat

BERBEDA PENDAPAT DALAM KORIDOR ISLAM

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

ِAkhir-akhir ini kalau kita melihat diskusi dan muzakarah dalam Forum Facebook, sering kita melihat diskusi atau muzakarah masalah sosial keagamaan yang tujuan mulia untuk saling mengingatkan yang tujuan akhirnya mencari persamaan justru berubah menjadi debat kusir yang tidak sehat itu, mari kita sadari hal itu.

Bagaimankah sebenarnya perbedaan pendapat dalam koridor Islam, ada beberapa hal yang kita perlu kita ketahui yaitu :

1. Mengedepankan persatuan./persamaan

2. Kemungkinan perbedaan.

3. Menyikapi perbedaan.

4. Adab berdiskusi dan perbedaan pendapat.

 

1.       PESAN PERSATUAN

Allah SWT menyerukan  umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham  dalam menegakkan syari’ah-Nya (QS. 3:103)

واعتصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا , واذكروا نعمت الله عليكم اذ كنتم اعداء فالف بين قلوبكم فا صبحتم بنعمته, اخونا وكنتم على شفا حفرة من النار فانقذكم منها, كذلك يبين االله لكم ءايته لعلكم تهتدون

dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk

Allah SWT memperingatkan umat Islam agar  tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)

ولا تكونوا كاالذين تفرقوا  واختلفوا من بعد ما جا ءهم البينت, واولئك لهم عذاب عظيم

dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,

2.       KEMUNGKINAN PERBEDAAN

Perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan warna membuat kehidupan menjadi indah, kita tidak akan dapat mengetahui putih jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau dan warna lainnya. Kita tidak akan dapat bekerja dengan baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan bentuknya sama, seperti telunjuk semua misalnya, atau kita akan kesulitan mengunyah makanan jika bentuk gigi kita semuanya sama, taring semua misalnya, dst. Demikanlah harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan fungsinya. Perbedaan pada wasa’ilulhayat (sarana hidup).

Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin (esensi agama). Firman Allah : “ Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” QS. 40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an, AS Sunnah, maupun Ijma’. Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an, As Sunnah maupun Ijma’ adalah esensi dasar dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para Nabi sebelumnya (QS. 29: 69, 5:15-16, 2:208), kemudian perbedaan tanawwu’ (penganeka ragaman) dalam pelaksanaan  syari’ah, antara wajib atau sunnah. Wajib ain atau kifayah, dst.

Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:

1.       Perbedaan pada Dzatuddin (esensi) dan Ushul (dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah diisyaratkan Allah : (QS. 11: 118-119)

ولو شاء ربك لجعل الناس امة وحدة, ولايزالون مختلفين * الا من رحم ربك, وذلك خلقهم, وتمت كلمة ربك لاملان جهنم من الجنة والنار اجمعين *

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat,   kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.

Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah :

كا ن الناس امة وحدة فبهث الله النبين مبشرين ومنذرين وانزل معهم الكتب بل الحق ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه, وما اختلف فيه الا الذين اوتوه من بعد ما جاءتهم البينت بغيا بينهم, فهدى الله الذين ءامنوا لما اختلفوا فيه من الحق باذنه, والله يهدى من يشاء الى صرط مستقيم

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(QS. 2 :213)

2.       Perbedaan umat Islam pada Qaidah Kulliyah (kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan pada dasar prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita fahami dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh puluh tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj (konsep) akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb. Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah (benar), sunnah dan bid’ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah, Qadariyah,  Rafidhah, dsb.

 

3.       Perbedaan pada Furu’iyyah (cabang). Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-masalah dasar prinsipil dan  kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu’ (cabang) syari’ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :” …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …”QS 11: 118-119, ia katakan : “adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.

Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59 )

يايها الذين ءامنوا اطيعوا الله واطيعوا لرسول واوالامرمنكم, فان تنزعتم فى شيء  فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر, ذلك جير واحسن تاويلا *

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran aplikasi/furu’iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada  Sunnahnya setelah rasul wafat.

Porsi perbedaan ini dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu’iyyah setelah terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun yang mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam masalah furu’iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah fiqh saja terdapat dua alur:

a.       pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam masalah fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu’iyyah adalah “semua benar”

b.      pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak tersesat.

Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam masalah-masalah furu’iyyah tidak boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh balasannya.  Sabda Nabi : “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala”.

3.       MENYIKAPI PERBEDAAN

Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari’ah samawiyah (agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti yang diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun. Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang memutuskan agar kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya (susu dan bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing untuk dirawat, dan masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah klop. Allah memilih ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan mengurangi derajat Nabi Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah diberi kelebihan hikmah dan ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang mengambil keputusan setelah berfikir mendalam.

Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath’ulliynah (penebangan pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.

Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang shalat ashar di tengah perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat tujuan setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air. Kemudian sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada yang tidak.

Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :” Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah (para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.

Ketika Abu Ja’far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada Al Muwattha’nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik : “ Jangan kamu lakukan  wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka fahami ”

Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam melakukan penelitian masalah khilaf far’iy sebagaimana yang pernah ada pada sahabat dan para pengikutnya. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme aliran.

 

4.       ADAB BERDISKUSI DAN BERBEDA PENDAPAT

Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat terealisir. Adab itu ialah :

1.       Tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy. Ada ulama yang mengatakan :”Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta”

2.       Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang  terjadi atau mungkin terjadi.

3.       Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan riya’ atau semangat mengalahkan lawan, benar atau salah.

4.      Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan. Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar : “Betul wanita itu dan Umar salah”. As Syafi’iy berkata:  “ Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya”   

5.       Tidak menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu problem ke problem lain.

6.       Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya.

Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir.

هدانا الله واياكم اجمعين

Leave a comment